Pada tahun 1890 Desa Pelang Lor penduduknya hanya sekitar 70 KK yang terdiri dari dua Dukuh (Dusun) yaitu Dukuh Pelanggarem dan Dukuh Tambakselo, pada waktu itu Dukuh tersebut belum memiliki nama. Ada salah satu Penduduk Dukuh Pelanggarem yang saat itu dianggap terkemuka, beliau bernama P. Sonoredjo, dimana pada akhirnya beliaulah yang memberi nama Dukuh tersebut.
Berhubung dukuh tersebut hanya ngempel (dipandang dari jauh tidak kelihatan/hilang), maka dukuh tersebut dinamakan dukuh Pelang. Disitu ada sungai yang mengalir yaitu sungai Solo. Sungai tersebut ketika musim kemarau batu-batu yang ditengah sungai kelihatan dan batu tersebut keluar garamnya, oleh karena batu tersebut mengeluarkan garam maka dukuh tersebut diberi nama Dukuh PELANGGAREM.
Sedang di Dukuh yang lain juga mengalir sungai. Sungai tersebut ditambak dengan batu (Bahasa Jawa: Selo), maka Dukuh tersebut diberi nama Dukuh TAMBAKSELO. Ciri-ciri dukuh Tambakselo ialah kalau ada orang yang mempunyai hajat mengadakan keramaian Wayang Kulit dengan mengambil cerita ROMO TAMBAK/ROMO NITIS. Oleh karena dengan ceritera tersebut berakibat tidak baik bagi dukuh tersebut, maka sampai sekarang kalau ada orang-orang mengadakan keramaian wayang kulit, tidak ada yang mementaskan ceritera tersebut.
Pada tahun 1896 diadakan Pemilihan Kepala Desa, sedang yang terpilih adalah P. Sonoredjo. Kemudian pada tahun 1902 dukuh Tambakselo dipecah menjadi 3 (tiga) dukuh yaitu dukuh Tambakselo Timur, Tambakselo Barat dan Tambakselo Selatan. Akhirnya mulai tahun tersebut desa Pelang Lor terdiri dari 4 (Empat) dukuh yaitu : Dukuh Pelanggarem, Dukuh Tambakselo Timur, Dukuh Tambakselo Barat, Dukuh Tambakselo Selatan.
Sumber : Arsip Catatan Sejarah Desa Pelang Lor, 1984